Warga Jakarta menghadapi musibah besar tatkala
banjir melanda seluruh wilayah Kota Jakarta pada Kamis (17/1), dan
melumpuhkan segala akses.
Tak hanya layaknya banjir empat hari terakhir yang dialami oleh
beberapa titik, wilayah yang memiliki daya dukung lingkungan lemah,
banjir satu ini terbilang hampir merata. Kawasan Bundaran HI di jantung
Jakarta serta Istana Negara pun tidak luput dari kepungan banjir. Dalam
sekejap, status Jakarta darurat banjir diberlakukan hingga sepuluh hari
ke depan.
Hujan turun sejak malam hari beranjak subuh, dengan intensitas yang
tinggi disertai petir. Peringatan dini mulai disampaikan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada pukul 08.00 WIB.
Namun cuaca ekstrem tidak bisa terus disalahkan, menurut sejumlah
pakar di beberapa bidang, banjir Jakarta merupakan gabungan dari faktor
cuaca ekstrem dan lebih-lebih, faktor kompleksitas Jakarta.
Jika
dilihat dari curah hujannya pun, curah hujan pada periode Januari 2013
lebih rendah dibanding curah hujan saat banjir Jakarta tahun 2007 lalu.
Artinya, situasi ini terjadi melibatkan masalah penataan air dan
penataan ruang. Tata ruang Jakarta butuh pengendalian yang berorientasi
antara lain pada kepadatan populasi dan pemisahan area.
Secara geografis, Jakarta adalah kota yang berada di delta dan rentan
terhadap banjir. Ahli hidrologi di Pusat Studi Bencana UGM Yogyakarta
Sudibyakto, menjelaskan, banjir meningkat baik frekuensi maupun
intensitasnya oleh karena kerusakan lingkungan kian parah.
"Kapasitas tampung Sungai Ciliwung sudah terlampaui, akibat
pendangkalan dan adanya penambahan intensitas air permukaan. Sumbangan
air limpasan dari sistem jalan tol juga sangat signifikan. Koefisien
aliran di jalan tol mendekati 90 persen," kata Sudibyakto.
Arsitek dan
urban planner Marco Kusumawijaya dari Rujak
Center for Urban Studies (RCUS), mengetengahkan bahwa permasalahan
aliran air di permukaan terus bertambah karena tanah tidak mampu lagi
meresapkan air.
"Kami usulkan pendekatan lestari, yaitu perbaikan lahan di hulu dan
hilir, supaya menyerap air lebih banyak. Ketimbang memilih pendekatan
infrastruktur dengan membuat saluran dan kanal," ujarnya.
Kapasitas masyarakat
Di samping itu, aspek budaya masyarakat menjadi satu pekerjaan rumah lagi yang perlu dibenahi.
Banjir
menggenangi kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (17/1). Para pekerja di
sekitar lokasi terpaksa dievakuasi menggunakan perahu karet. (Gloria
Samantha/NGI).
Hery Harjono, Direktur Asia Pasific Center for Ecohydrology
(APCE)—perwakilan lembaga untuk UNESCO yang dibiayai pemerintah di bawah
LIPI, yang secara terpisah dijumpai
National Geographic pada
sebuah kesempatan di Jakarta pada awal minggu ini, menyatakan,
"Pembangunan kapasitas masyarakat di segala lapisan haruslah
ditingkatkan untuk mengurangi risiko bencana banjir."
Hery mengingatkan, persepsi masyarakat dalam menanggapi bencana kerap
menjadi hambatan di lapangan. Contoh, banyak masyarakat tidak mau
mengevakuasi diri bila bencana sudah terjadi, apalagi pindah dari
huniannya yang rata-rata rawan banjir tersebut. Kalau saja pembangunan
kapasitas masyarakat tidak mendukung, maka segala skenario
penanggulangan bencana akan percuma.
Ia juga berpendapat teknologi dan pengetahuan mampu mengatasi banjir
Jakarta, meski tidak mudah dalam jangka waktu pendek. "Sekarang
masalahnya sudah menumpuk jadi satu. Tapi saya yakin bisa
direhabilitasi, diselesaikan, dengan upaya tinggi melalui edukasi yang
baik, kebijakan pengelolaan sumber daya air yang baik."
Masyarakat Jakarta serta-merta diimbau menuju kepada masyarakat
tangguh bencana, yang antisipatif dan adaptif menghadapi bencana.
Terutama banjir yang terus berulang di saat puncak hujan sampai setumpuk
masalah dapat diatasi.
(
Gloria Samantha. Sumber: Kompas)